Pengikut

Jumat, 08 Mei 2020

Yang telah terlahir


Teriknya matahari tak pernah sedikitpun melemahkan semangatku untuk kerja. Oh ya, perkenalkan aku anak kedua dari tujuh bersaudara. Dibesarkan ibu seorang diri di desa. Ayahku? Dia pergi meninggalkan ibuku saat aku kelas 4 SD. Memori itu jelas teringat saat sore menjelang maghrib seperti biasanya ibuku menyiapkan makanan untuk kami semua. Ibu menunggu kepulangan ayah sampai tengah malam di depan pintu rumah. Tak ada kata yang ditinggalkan ayah saat itu. Keesokan harinya ada renternir yang ingin menyita rumahku, ah seperti sinetron saja hidupku namun itu memang terjadi. Hingga akhirnya kami pindah ke desa kelahiran ibu tanpa ayah.
Ibu membesarkan kami dengan sekuat tenaga. Apapun dilakukan agar kami bisa makan. Aku mempunya dua pasang adik kembar yang tentu memberatkan ibuku saat sekolah karena semuanya harus bersamaan. Dua tahun yang lalu, kakakku meninggal karena sakit. Dokter bilang penyakitnya sudah lama, bisa jadi kakakku hanya diam tak ingin memberatkan keluarganya yang memang sudah pontang-panting untuk bertahan hidup. Terlahir di keluarga ini membuatku menjadi perempuan sekuat baja, membuatku untuk tidak terlalu berharap pada manusia karena setelah kejadian itu ibu mengajarkanku harus menaruh harapan hanya pada Yang menciptakan.
Ditengah pandemi ini, sebenarnya aku dan keluargaku sudah terbiasa. Kami terbiasa hidup sederhana yang penting bisa makan. Kami sekeluarga bekerja di pabrik pengolahan ikan, eh kecuali adikku kembar yang paling kecil. Nasib keluarga kami termasuk lebih beruntung karena pihak pabrik masih memperkerjakan kami walaupun gaji yang kami terima dipotong hampir 50%. Aku mengira banyak diluar sana yang lebih susah dari kami. Namun yang paling kusesali adalah ketika aku melihat di tv, justru ojek online yang paling disorot padahal banyak dari kami juga merasakan kekurangan di tengah pandemi ini.
Ah benar, kata ibuku musibah semacam ini pasti terjadi dan rakyat kecil seperti kami sudah lumayan terlatih. Melakukan apapun demi mendapatkan uang halal sudah menjadi rutinitas sebelum kami bekerja di pabrik itu. Terlatih namun hatiku masih kadang hancur saat melihat ibuku menangis sendiri di dapur melihat karung beras sudah tak berisi. ah iya, aku ingin sekali mengirim pesan ke pak presiden kalau kami terlahir sebagai rakyat kecil tak pernah berharap lebih dan tak akan mengguncang jabatan bapak, hanya saja kami ingin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu ada di sini karena pandemi ini sangat berdampak pada kami.




Cerita sederhana yang semoga menggugah kita untuk selalu bersyukur
Ramadhan menulis part 9
Tema: Nasib rakyat kecil ditengah pandemi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Merdeka yang harus dimerdekakan

Indonesiaku Merdeka Kekayaan alamnya tak diragukan Gunung dan lautan tak pernah luput dari pandangan Bahasa dan budaya tak terhitung d...